TANTANGAN BERTAUHID
Oleh: Moh. In’ami “Katakanlah : ‘Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan dia’.” (QS: Al Ikhlas :1-4)Arti tauhid adalah bahwa setiap orang Islam mengakui bahwa tiada ilah yang wajid disembah kecuali Allah, dan nabi Muhammad saw adalah RasulNya. Persaksian yang mesti dilakukan oleh setiap muslim. Pengakuan semacam ini menjadi keharusan dalam kehidupan beragama islam. Untuk menguatkan persaksian dan menegaskan pengkuan tersebut, maka setiap tanpa ada unsure paksaan, sadar atau tidak menyebutnya sebanyak 9 kali dalam aktifitas ibadah (sholat fardhu) dan lebih dari 19 kali (sholat sunnah) dalam sehari semalam.
Penyebutan kata-kata pengakuan pada diri seorang muslim merupakan indikasi bahwa ada kewajiban dalam menegakkan dua kalimat syahadat dalam terjemah nyata di kehidupan individu maupun sosial. Pengakuan itu menuntut realisasi factual dan bukan pikiran imajinatif belaka. Suatu konsekuensi logis yang memberikan kesempatan kepada ‘sang pengaku’ (umat muslim) untuk menjaga eksistensi pengakuan itu dengan menampilkannya pada setiap ucapan, sikap dan perilaku kehidupan sehari hari.
Fungsionalisasi syahadat memberikan penegasan pda diri seorang muslim untuk senantiasa dan terus menerus berpegang teguh pada apa saja yang menjadi perintah Allah SWT dan menjauhi setiap larangan-Nya (baik dianggap berat ataupun ringan), serta mau dan sungguh-sungguh dalam menjalankan ajaran agama Islam berdasarkan pada apa yang telah beliau Rosulullah saw contohkan.
Jika setiap muslim mau instropeksi, sudahkah kehidupan privatnya terbebas dari jerat-jerat benalu tauhid? Mengapa memurnikan tauhid menjadi suatu keniscayaan yang tidak dapat ditawar oleh setiap muslim?
Pintu gerbang yang harus dimasuki oleh siapapun yang sadar dan ingin memeluk agama Islam adalah Syahadat Tauhid dan Syahadat Rasul. Tidak ada sesuatu amalan yang diwajibkan melainkan pelakunya telah secara benar dan bersih memasuki altar Islam tanpa unsure paksaan dan intimidasi.
Melalui Syahadat Tauhid setiap muslim, dengan segala penuh kesadaran, mau meninggalkan apa saja yang bukan mengagungkan Allah SWT dan mengesakan-Nya. Mindset seorang muslim telah mengalami perubahan drastis sebelum dan sesudah masuk Islam. Jika sebelum ber Islam masih menyukai klenik, perdukunan pengagungan nenek moyang dan ritul yang tidak dibenarkan dalam islam, sesudah Islam menjadi keyakinan dan pandangan hidup seseorang maka tidak ada lagi perbuatan-perbuatan yang mengarah pada kesyirikan itu.
Melalui Syahadat Rasul seorang muslim sepenuhnya taat dan patuh pada Dawuh , sabda ,dan instruksi Rosulullah SAW dalam setiap nada hati, tutur lisan, dan perilaku senantiasa dicocokkan dengan kehidupan beliau SAW, tanpa negosiasi. Implikasinya pada dunia nyata adalah seorang muslim tidak akan berani menyimpang ,dalam setiap ucapan dan perbuatannya, dari tuntunan dan ajaran yang dibawanya.
Allah ta’ala membuat aturan hidup (syariat)) untuk kebaikan
dan kemaslahatan manusia. Jika seluruh manusia tidak mau menerapkan aturan itu,
Allah tidak akan menjadi hina. Pun jika manusia mengikuti aturan yang
diterapkan-Nya tidak akan menjadikan-Nya
menjadi mulia. Aneh lagi bila manusia malah membikin aturan sendiri,
hamper bias dipastikan ada unsure kepentingan yang ‘bermain’.
Jika
manusia telah menguasai cara main dalam peri
kehidupan dan peri kemanusiaan, hingga mampu mengontrol, mendikte, dan
mengekang orang lain atas nama aturan atau dengan dalih loyalitas, maka menjadi
wajar orang menguasai orang. Para senator berkumpul untuk membuat regulasi,
yang mampu meruntuhkan hokum Allah, untuk mengatur tatanan kehidupan manusia
didalam sebuah komunitas dengan menjadikan aturan manusia melebihi aturan Allah ta’ala. Pada saat itulah manusia menyaingi
Tuhannya. Suatu keanehan perilaku mahluk yang malampaui otoritas Sang Khalik.
Sungguh suatu su’ul adab yang sangat.
Jika hal diatas yang terjadi dan membumi, tidak bias dipungkiri adanya
kenyataan yang sungguh berlawanan dengan maksud penciptaan, kodrat kemanusiaan,
dan tatanan kehidupan. Dan orang menjadi terbiada dengan kefasikan. Yang
terjadi selanjutnya adalah aturan Allah sering dilanggar dengan dalih
kepentingan kelompok, golongan dan bahkan individu.
Sebuah
pertanyaan singkat yang mesti diajukan kepada setiap muslim adalah, adakah rajah
diatas pintu rumah, jendela atau
bahkan dileher anak? . Pertanyaan sederhana ini
tidak membutuhkan jawaban langsung, tetapi setiap muslim hendaknya
melihat sendiri, adakah benda itu ditempat-tempat tersebut. Sebaiknya dilakukan pengecekan.
Jika benda itu benar-benar ada ditempat tinggal kita, maka ia merupakan
indikasi adanya benalu pada pemahaman dan konsep sekaligus penerapan tauhid
kita.
Apa
yang disebut dengan jimat, haikal jaljalut, tathayyur, sial, tanjim, hari naas
dan wali syetan merupakan kebatilan. Keyakinan, persepsi, maupun prasangka
terhadap hal-hal itu merupakan jebakan syirik. Sehingga apapun alasan yang
dimunculkan dan diajukan sebagai bentuk argument dan alasan untuk membenarkan
penggunaanya, hanya merupakan bentuk nyata pembelaan terhadap kebatilan itu
sendiri.
TENTANG
JIMAT, Rasul saw pernah bersabda , “Sesengguhnya jamp-jampi, jimat-jimat dan
guna-guna itu adalah syirik.” ( HR. Ahmad dan Abu Dawud): Tentang tathayyur,
Rasul saw bersabda : “Jangan menularkan penyakit, jangan bertathayyur,
menganggap sial burung malam dan bulan shafar.” (HR.Bukhori dan Muslim),
Tentang sial dari Sahl bin Sa’ad bahwasannya Rosulullah saw bersabda:
“Seandainya kesialan itu ada, maka pada wanita, kuda, dan tempat tinggal.”(HR
Bukhori Muslim ): Tentang tanjim atau perbintangan Rasul saw bersabda,
“Siapapun yang menerima ramalan bintang maka sungguh ia telah mengambil bagian
dari sihir, bertambah menurut tambahnya.” (HR Abu Dawud, ahmad dan ibnu Majah).
Jimat,
tathayyur, sial, dan tanjim merupakan perkara-perkara yang mengganggu tauhid
dan menyebabkan korosi pada dinding keimanan seseorang. Efek dari semua perkara
diatas pada diri seseorang muslim adalah adanya ketergantungan pada selain
Allah dan adanya penafian terhadap konsep tawakkal.
Orang yang
meyakini adanya kekuatan jimat misalnya, menjadi tidak yakin terhadap daya dan
ketentuan Allah. Lebih ironis lagi jimat telah menggeser sebagian pilar-pilar
keimanan seseorang.
Orang yang
menggunakan jimat dapat saja mengatakan bahwa keberadaan benda itu pada dirinya adalah sebentuk
ihtiar, penjagaan diri, upaya membentengi diri, dan sebentuk pengamanan. Argumaen
itu mungkin benar menurut akalnya. Tetapi hal itu justru akan merugikan
dirinya, dunia akhirat.
Kenyataan
seperti diatas dapat saja terjadi kerena adanya kelemahan konstruksi berpikir
dan rendahnya kemampuan menangkap petunjuk qauliyah dan kauniyah. Penyebabnya
adalah diantaranya:
Pertama,
tidak adanya kemampuan memahami sekaligus mempratekkan konsep tauhidi dalam semua aspek kehidupan. Seorang muslim
hendaknya tetap berpegang teguh pada aqidah yang lurus. Dalam bidang kehidupan
apa saja yang ditekuni, seseorang dituntut untuk mengindahkan pegesaan Allah
dan menjaga sifat wardaniyah-Nya.
Kedua
, dominasi penglihatan pada aspek materi dan menafikan aspek batin:
Capaian-capaian materi sering menjadi prioritas manusia seiring dengan hadirnya
kekuatan kapitalisme dan materialism yang mulai menggusur rasa iman, islam dan ihsan. Ketiga rasa itu dipandang sebagai sekunder dan
tidak mendapat perhatian serius, dan bahkan orang cenderung dilupakan.
Ketiga
, adanya kecenderungan pengguna jimat terhadap hal-hal yang berbau mistik,
yang jauh dari ajaran agama. Perkara mistik memnjadikan manusia melanggar
ajaran Allah dan mengorbankan kepentingan akhirat dengan mengejar
keuntungan dunia. Maka mistik telah
menyeret pengguna jimat pada upaya-upaya
yng batil, tujuan-tujuan profane, dan mengutamakan kebahagiaan semu.
Keempat
, putusnya realisasi tawakkal (pasrah) dan I’timad (bergantung)
kepada Allah SWT, penggunaan jimat atau apapun yang sepadan dengannya,
mengantarkan seseorang pada pengukuhan
adanya kekuatan baru dalam setiap aspek
kehidupan dan penolong cepat dalam segala hajat hidup. Orang yang
sedemikian telah menjadikan rasa pasrah dan bergantungnya pada Allah
tercerabut, terhempas dan akhirnya punah.